Langsung ke konten utama

Memperjuangkan Hak Berdemokrasi Rakyat








Baru-baru ini masyarakat luas dibuat geger karena RUU KUHP dan sejumlah pasal-pasal lainnya yang dinilai meresahkan masyarakat. Sesuai dengan jargon mahasiswa yaitu, “Hidup mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!” semua teman-teman mahasiswa turun ke jalan demi menyuarakan aspirasi masyarakat yang menolak secara tegas tentang pengesahan RUU KUHP beserta sejumlah pasal-pasal yang menuai polemik di tengah masyarakat. Melihat dari berbagai media massa, mahasiswa yang berdemonstrasi bukan hanya di Jakarta, tetapi di berbagai daerah juga ikut turun ke jalan. Karena pada saat demo, mereka tidak hanya membawa jas almamaternya tetapi juga membawa hal yang lebih penting, yaitu: menyuarakan suara kegelisahan rakyat.
Banyak dari masyarakat yang beranggapan bahwa penyusunan RUU KUHP beserta pasal-pasal itu dibuat dengan terkesan terburu-buru mengingat periode DPR kali ini tinggal menghitung hari. Dan juga kurangnya sosialisasi pemerintah kepada semua lapisan masyarakat tentang RUU KUHP, sosialisasi itu sendiri seharusnya tidak hanya datang ke kampus-kampus tetapi turun langsung ke lapangan secara beberapa tahun untuk mengetahui situasi real di masyarakat itu seperti apa.


Dikutip dari Haris Azhar seorang Aktivis HAM pada saat acara Indonesia Lawyers Club pada Rabu (24/9), “Komunikasi pemerintah dan masyarakat nggak jalan, masalah kita adalah masalah komunikasi, tidak ada keterpercayaan, mau pakai teori apapun yang nggak akan sampai.” Selain itu pula, Haris Azhar menuturkan bahwa polisi jangan bermain kejar-kejaran dengan mahasiswa karena mahasiswa itu mau menyampaikan aspirasi masyarakat. Karena kata Bung Hatta sendiri, mahasiswa ialah akal dan hati masyarakat.
Namun dalam satu kesempatan, Arsul Sani selaku anggota komisi III DPR membantah persepsi masyarakat, beliau mengatakan bahwa mengenai RUU KUHP beserta pasal-pasalnya itu pemerintah telah bertanya kepada ahli hukum pidana di Indonesia dengan jangka waktu 4 tahun sambil menyerap aspirasi baik politik hukum, redaksi pasal dan substansi pengaturan. Dalam pembahasannya pula disusun dengan mendengarkan aspirasi dari elemen-elemen masyarakat sipil negara beserta sumbangan aspirasi dari lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Demo yang dimulai pada hari senin dan berlanjut pada hari selasa ini, mengundang gelombang mahasiswa untuk memenuhi depan gedung DPR beserta dengan berbagai poster yang menyinggung atau mengkritisi tentang RUU KUHP. Dua hari melakukan aksi demo, ada beberapa pihak yang malah menyudutkan aksi mahasiswa ini ditunggangi oleh sejumlah elite politik. Namun pada acara Indonesia Lawyers Club, Manik Marganamahendera, Ketua BEM UI, menegaskan bahwa aksi ini pure ditunggangi oleh kepentingan rakyat Indonesia dan sangat menyayangkan adanya tudingan liar seperti itu.
Dari banyaknya pasal-pasal yang mengundang polemik atau menuai sejumlah pro dan kontra dalam masyakarat, salah satu yang menarik ialah pasal 218 RUU KUHP yang mengatur tentang kebebasan berpendapat:
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri


Sejatinya, kebebasan berpendapat itu sendiri sebenarnya adalah buah dari terjadinya aksi reformasi yang terjadi pada mei 1998 silam. Kala era orde baru memang sangat begitu terasa tentang pengekangan kebebasan berpendapat, ketika banyak pembredelan pers dimana-mana hingga pemerintah membentuk Clearing House untuk meneliti buku-buku yang dinilai berbahaya. Clearing House itu dikukuhkan melalui SK Nomor Kep-114/JA/10/1989 dan resmi bekerja di bawah Jaksa Agung. Mereka terdiri dari 19 anggota yang berasal dari JAM Intel (Jaksa Agung Muda bidang Intelijen) dan Subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional), Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), Bais (Badan Intelijen Strategis), ABRI, Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta Departemen Agama. Pembentukan Clearing House ini tidak lain adalah untuk mengatur buku-buku yang boleh digunakan publik dan menghilangkan buku-buku terlarang.
Sebetulnya sejarah singkat KUHP tentang pasal penghinaan terhadap presiden itu adalah warisan dari kolonialisme. KUHP yang selama ini digunakan pemerintah Republik Indonesia merupakan warisan era kolonial Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. WvS Belanda tersebut diberlakukan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 RI tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.
Dahulu, pasal penghinaan digunakan untuk melindungi pemerintah kolonial Hindia Belanda dari kritikan atau serangan para pejuang kemerdekaan RI. Pasca kolonialisme Belanda, pasal tersebut sering digunakan pemerintah untuk membungkam para aktivis atau lawan politik yang melontarkan kritik lewat beragam media, baik lisan maupun tulisan. Pasal itu berjalan dengan logika bahwa presiden, wakil presiden, dan lembaga adalah simbol negara yang harus dijaga martabatnya. Posisi jabatan-jabatan itu dianggap tidak memungkinkan bertindak sebagai pengadu sehingga siapapun penghina presiden dapat langsung diproses penegak hukum. Di Belanda, pasal ini digunakan untuk melindungi ratu sebagai simbol negara.
Di kutip pada acara Indonesia Lawyers club, Dinno Ardiansyah selaku Presiden Mahasiswa Trisakti mengatakan, “Pada pasal KUHP tentang pembatasan memberikan kritk dan aspirasi disini sangat multitafsir sekali, penghinaan kepada presiden itu seperti apa? ketika memang sebuah kritikan dan kritikan itu jelas substansinya, apakah rakyat tidak boleh mengkritk? Dan itu diatur pada pasal KUHP 218, yang kedua diatur pada pasal 353-354 mengatur penghinaan terhadap penguasa atau lembaga negara yang bisa dipenjara 2 sampai 3 tahun, artinya ketika sekarang lembaga DPR melakukan suatu kinerja yang menurut masyarakat kurang baik lalu datang untuk mengkritik apa tidak boleh? Ini kan sangat multitafsir, sangat membatasi aspirasi atau pendapat masyarakat. Sedangkan demokrasi kita ini demokrasi yang sangat bebas, siapapun boleh mengkritik asal substansinya jelas. Apa ini kritik perorangan atau substansi lalu kalau substansi apa harus tetap dipenjara? Kan tidak?”
Pada 2006 melalui putusan Mahkamah Konstitusi pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP yang lama, yakni Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137, telah dicabut dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena dianggap mencederai semangat demokrasi dan bertentangan dengan asas-asas demokrasi itu sendiri. Kilas balik pada kasus tahun 2003 yang dialami Supratman, Redaktur Harian Rakyat Merdeka, beliau dijerat dengan pasal 137 ayat (1) KUHP Tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina presiden atau wakil presiden karena judul pemberitaan yang dibuatnya dianggap menghina presiden Megawati. Padahal jika ditelaah beberapa berita yang dimuat berupa kata kiasan yang hiperbola dengan tujuan mengkritisi pemerintahan pada era Megawati. Dalam kasus seperti ini sangat merugikan bagi pihak pers, karena terkadang pers sendiri membuat sebuah berita yang bersifat kritikan dengan tujuan agar pemerintah kedepannya bisa memperbaiki kinerjanya bukan justru untuk menjatuhkan sebuah pihak dan walaupun sudah ada Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 cenderung diabaikan dalam sejumlah kasus yang melibatkan pers. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemudian ada juga kasus seorang mahasiswa bernama Monang Johannes Tambunan yang pernah didakwa dengan pasal 134 KUHP di era Susilo Bambang Yudhoyono. Monang, yang saat itu menjabat Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dinyatakan bersalah melakukan penghinaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menggelar aksi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di depan istana Negara Jakarta pada 26 Januari 2005. Setelah Majelis hakim memvonis terdakwa karena melanggar pasal 134 dan 136bis KUHP, ia dijatuhi hukuman enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Negara Indonesia itu negara yang menjunjung tinggi nilai Demokrasi, maka sudah seharusnnya pasal yang sudah dikubur oleh Mahkamah Konstitusi itu tidak perlu dihidupkan kembali, dalam pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 juga sudah dijelaskan bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan megeluarkan pendapat.” Ini menunjukkan bahwa kebebasan berpendapat sebenarnya sudah dijamin pada undang-undang konstitusional di Indonesia, selain itu kita juga mesti mengingat kalau demokrasi adalah salah satu Hak Asasi Manusia, atau jika lebih luasnya dijamin oleh Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB, pada pasal 19 yang berisikan, “Everyone has the right to freedom of opinion and expression, this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontier (setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas).”
Dalam beberapa pertemuan, founder dari Lokaturu Haris Azhar menyebutkan di acara Sapa Indonesia yang bertemakan Dialog: “Hantu” Pasal Penghinaan Presiden, bahwa Haris tidak menyetujui muculnya RUU KUHP seperti itu karena jelas pasal tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Selain itu pula, Haris menyatakan bahwa, “Penghinaan itu terhadap seseorang bukan jabatan, bedakan antara jabatan dengan perfom lagipula pasal seperti ini akan mnyuburkan laporan kantor polisi yang nantinya akan menghabiskan dana APBN, dan menyediakan ranah kegaduhan. Presiden itu harus kita kritik, tidak ada penghinaan terhadap kritik,” ujarnya.
Lagipula Indonesia ini kan negara demokrasi dimana sebuah sistem pemerintahan itu sendiri dipilih oleh rakyat dan bekerja untuk rakyat. Lantas apa salah jika rakyat besifat kritis terhadap sistem pemerintahan yang dirasa kurang condong terhadap masyarakat? Padahal dalam pembuatan UU harus memperhatikan kebutuhan masyarakat agar UU tersebut bisa berlaku secara efektif di tengah masyarakat. Kebutuhan yang nantinya menertibkan masyrakat bukan malah nanti membuat masyarakat harus berkutat dengan balutan benang merah yang berisikan pasal-pasal pidana.
Banyaknya kasus-kasus tentang sifat anti kritik terhadap pemerintah juga lantas sering sekali menuai kontra di tengah masyarakat, padahal sejatinya hak mengutarakan pendapat itu merupakan hal yang lumrah karena kritikan tersebut terdapat unsur membangun pemerintah kearah yang lebih baik lagi. Lahirnya pasal ini juga berpotensi mengkriminalisasi kan orang-orang yang tidak tidak suka dengan pemerintahan atau berbeda pandangan dengan pemerintahan. Lantas jika diperhatikan akhir-akhir ini, kenapa pemerintah seolah ingin menggiring masyarakat untuk kembali pada era orde baru? Ini yang paling banyak dikecam oleh mahasiswa dan para aktivis karena kebebasan berpendapat itu sejatinya hak perorangan. Jika ini terjadi berarti reformasi rakyat dikorupsi!
Katanya untuk rakyat, tapi kepentingan rakyatnya saja tidak diperhatikan atau jangankan kepentingan, suara rakyat saja tidak didengar? Lalu kalau bukan kepentingan rakyat berarti kepentingan siapa? Memang, sejatinya perancang undang-undang pasti sudah membuatnya dengan mendengarkan dari berbagai lembaga-lembaga namun apa salahnya jika dilakukan penolakan pengesahan RUU KUHP mengingat kemarin sudah puluhan ribu mahasiswa menuntut agar tidak disahkan RUU KUHP tersebut. Coba sekali-sekali pemerintah bukan hanya memperhatikan rakyatnya tetapi ikut merasakan tepo seliro atau merasakan sebagai rakyat kecil yang jika lapar harus mencari uang seharian bukan tinggal datang, ikut rapat lantas tertidur di dalam gedung ber-ac.
Nanti pada praktiknya para penegak hukum akan lebih agresif menangkap pelaku-pelaku yang dianggap menyakiti atau menyinggung suatu pihak. Contoh seperti ini yang dinamakan Neokolonialisme atau penjajahan cara terbaru dengan menjajah bangsa sendiri. Ini menjadi masalah yang harus diselesaikan bersama, rakyat menyuarakan aspirasi, pemerintah mendengarkan agar terjadi kesepakatan yang harmonis antara pemerintah dengan rakyat. Karena biasanya Undang-Undang yang tidak disetujui oleh banyak masyarakat memiliki makna tajam kebawah dan tumpul keatas, bahwa nantinya rakyat kecil yang akan tersudutkan sedangkan petinggi-petinggi negara dapat dengan mudah memanipulasi atau menyembunyikan kasusnya dengan uang yang mereka punya.
Lantas jika pada akhirnya RUU KUHP mengenai kebebasan berpendapat ini disahkan, alangkah baiknya perlindungan hak kebebasan berpendapat tidak hanya menjadi tugas bagi peradilan, tapi juga kepolisian sebagai aparatur negara, yang dituntut untuk memperhatikan ketentuan hukum hak kebebasan berpendapat sebelum melakukan penyelidikan dan penyidikan dari sebuah laporan.
Atau semisal kita bisa mengambil contoh penerapan ICPR atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada UU ITE yang disahkan dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2005. Ratifikasi ICCPR membuat Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang diatur di dalamnya. Pasal 19 ICCPR telah mengatur dan menjamin hak setiap orang untuk berpendapat yang mencakup hak kebebasan mencari, menerima, memberikan informasi dan pemikiran apapun baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. ICCPR mengatur beberapa kewajiban negara terkait hak kebebasan berpendapat yang di antaranya adalah kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap hak kebebasan berpendapat, kewajiban untuk menghindari dan memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak kebebasan berpendapat oleh pihak ketiga, dan kewajiban mengambil tindakan-tindakan Peradilan untuk memastikan bahwa para pejabat negara, ataupun pihak ketiga melaksanakan penghormatan dan perlindungan hak kebebasan berpendapat.


Sumber:




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kol Goreng Sehat atau Berbahaya?

  Sumber gambar: ussfeed.com Sayuran hijau yang satu ini sempat ramai diperbincangkan dengan teknik penyajian digoreng bersama sayur lalapan lain dalam pecel lele. Kol atau yang sering disebut kubis ini merupakan sebangsa brokoli yang mengadung zat oksidan, vitamin C, vitamin B,   karbohidrat, protein dan banyak nutrisi lainnya. Walaupun sayur kol memiliki cukup banyak kandungan gizi, namun beberapa orang juga berpendapat bahwa kol goreng ini membawa dampak negatif pada tubuh. Memang sayuran pada dasarnya memberikan banyak efek positif untuk kesehatan dengan membantu memenuhi kebutuhan nutrisi sekaligus dapat menjauhkan dari berbagai penyakit berbahaya. Namun apakah dengan teknik penyajian digoreng dengan minyak yang cukup banyak tetap menyehatkan? Mengingat minyak bisa membuat kolesterol serta memicu penyakit lainnya seperti diabetes.   Dilansir pada laman youtube milik Khadafi Land yang mewawancarai seorang dokter muda, ternyata yang salah merupakan cara pengol...

Tips Membuat Permen Jelly dari Agar-Agar, Anti Ribet

Sumber foto: langsungenak.com Sumber foto: langsungenak.com Banyak orang pasti sudah tak asing lagi dengan permen, makanan manis satu ini dahulu kala sering menemani masa   kecil. Hingga saat ini pun permen dapat meningkatkan mood banyak orang, walaupun karenannya juga kadang membuat sakit gigi apabila dimakan berlebihan. Saat ini banyak jenis merk permen yang beredar di Indonesia dengan varian rasa menarik seperti buah-buahan dan kopi. Harga dari beragam merk permen pun sangat terjangkau yang kemudian banyak orang memilih untuk membeli ketimbang membuat permen yang terkesan sangat rumit pembuatannya. Padahal kegiatan membuat permen ini tidaklah rumit dan bisa dilakukan saat sedang bosan atau mengisi waktu luang dirumah karena teknik dan cara pembuatannya yang seru. Umumnya cara pembuatan permen ini bisa dari bahan baku jelly atau agar-agar dengan cara dijemur selama dua sampai tiga hari. Selebihnya tinggal menunggu agar-agar tersebut mengeluarkan gula kristal yang berart...

Fenomena Cimol Meledak

       Baru-baru ini tren membuat cimol terjadi di berbagai sosial media seperti youtube, tiktok dan instagram. Cimol adalah salah satu cemilan yang digoreng dan terbuat dari tepung aci atau kanji. Teknik dan cara pembuatan cimol pun terus berdatangan dengan berbentuk video maupun ada juga foodblogger yang membagikan tips and trick pada saat membuat cimol.      Ada beberapa orang yang membagikan pengalamannya di twitter, salah satunya berupa cuitan atau video. Pada beberapa cuitan ada yang ngetweet soal meledaknya cimol saat digoreng, ada pula yang mengunggah video menggoreng cimol kemudian meledak hingga membuat minyak panasnya itu tercecer ke permukaan lantai atau dinding dapur.   Dalam membuat cimol, permasalahannya yang sering sekali terjadi ialah meledak saat digoreng.     Pada saat adonan cimol tersebut dimasukkan kedalam minyak panas, cimol tersebut langsung meledak dan membuat takut karena terkena minyak panasnya itu. T...